Furqan Mawardi
Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Mamuju
Kamis 17 Maret 2022 Universitas Muhammadiyah Mamuju berhasil meluluskan 438 wisudawan. Mereka merupakan golongan kecil anak bangsa yang mampu menempuh studi hingga tingkat elit menggapai posisi sebagai seorang sarjana.
Gelar sarjana merupakan sebuah gelar kehormatan sekaligus pengakuan bagi seseorang yang telah menempuh pendidikan di tingkat tinggi. Gelar ini tentu tidak hanya sekedar sebuah simbol, namun dibalik gelar itu menyimpan banyak pesan dan harapan.
Harapan terbesar kepada seseorang yang telah bergelar sarjana adalah bagaimana ilmu yang telah didapatkan selama menempuh pendidikan dapat terimplementasi dalam kehidupan yang memberi dampak perubahan dikalangan masyarakat dan lingkungan. Ia mesti hadir sebagai pemberi harapan perubahan sekaligus sebagai pemberi pencerahan untuk kemaslahatan ummat, negeri dan alam semesta.
Bagi penulis untuk menjadi seorang sarjana pencerah peradaban ada beberapa tugas berat yang mesti dipikul bagi setiap wisudawan yang bergelar sarjana, diantaranya adalah :
Pertama, Ia mesti mampu hadir sebagai pemecah masalah (problem solver). Masalah bangsa di negeri kita sudah menggapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Masalah agama, sosial, budaya, politik,kemiskinan, keterbelakangan, ekonomi, perpecahan antar anak bangsa, dan seabrek masalah lainnya. Dibutuhkan kehadiran manusia-manusia hebat yang mampu menawarkan solusi sekaligus sebagai pelaku pemecah terkait permasalahan tersebut.
Masalah penganggguran misalnya, menurut data terbaru tingkat pengagguran di negeri sudah masuk angka … dan 1 juta merupakan pengguran yang bergekar sarjana. Tentu ini menjadi masalah besar bagi setiap orang yang bergelar sarjana. Sarjana yang hebat mesti mampu tampil sebagai pemberi solusi dari berbagai permasalahan tersebut sekaligus terlibat aktif sebagai sang pemecah masalah.
Minimal sebagai seorang wisudawan, dia tidak termasuk sebagai golongan sebagai bagian dari masalah, akan tetapi ia harus hadir dengan memberi solusi dan setiap masalah tersebut. Seorang sarjana tidak boleh menjadi pengagguran baru yang menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Ia mesti mampu untuk tampil cerdas dalam mengembangkan potensi diri, menggunakan nalar kreatif sehingga melahirkan ide-ide cemerlang yang akhirnya mampu memberi manfaat bagi diri dan orang banyak.
Kedua, Penguasaan teknologi digital, tidak bisa dipungkiri bahwa untuk bersaing dan eksis saat ini, maka penguasaan teknologi digital menjadi sebah keharusan bagi setiap orang. Mau eksis dan bertahan maka kuasailah teknologi. Saat ini hampir semua sektor pekerjaan dijalankan dengan berbasis tekonologi digital. Sudah banyak saat ini orang bekerja tidak mesti harus keluar dari rumah, Pekerjaan dapat dilakukan dari rumah dengan bermodal handphone dan jaringan internet. Saat ini cukup banyak orang mampu mengahsilkan uang yang cukup banyak hanya dengan diam diri dirumah hanya dengan bantuan teknologi.
Aneka jenis pekerjaan ynag tidak dajalankan dengan teknologi maka hampir dipastikan umurnya tidak dapat bertahan lama. Karena dijaman seperti saat ini orang bertransaksi tidak mesti selalu berjumpa dengan bertatap muka langsung. Berbisnis misalnya, saat ini tidak lagi seorang pembeli dan penjual harus berjumpa langsung dan tawar menawar terkait harga. Saat ini dengan beragamnya aplikasi digital, semua dapat terjalankan dengan baik, cukup masing-masing penjual dan pembil berada dirumah, hanya dengan modal jaringan internet, semua transaksi dapat berlangsung dengan cepat tanpa mengenal batas dan waktunya.
Maka sebagai seorang sarjana, penguasaan terhadap teknologi digital sudah menjadi sebuah keharusan. Gelar sarjana apapun dia, penguasaan terhadap teknologi digital ini akan menunjang keberlangsungan karier hidupnya untuk kini dan nanti. Dan ketertinggalan dalam penguasaan teknologi, maka bersiaplah untuk menjadi sarjana yang akan digilas oleh zaman.
Ketiga, Memiliki tingkat kecerdasan spiritualitas. Sebagai seorang sarjana yang beriman, maka tidak bleh hanya mampu cerdas secara nalar dan logika. Namun mesti juga memiliki kecerdasan dalam hal spritualitas. Tingkat persaingan hidup yang terus berjalan dan entah kapan mencapai garis finish terkadang membawa manusia dalam kehampaan dalam hidup. Segala terget yang direncanakan mesti tercapai dan harus untuk terpenuhi. Sehingga terkadang manusia melupakan aspek-aspek Ketuhanan didalamnya.
Maka tidak sedikit manusia-manusia yang hidup di zaman yang serba canggih saat ini begitu mudah untuk diserang penyakit stress dan kebingungan yang tak berujung. Hal ini tidak lepas karena hilangnya nilai-nilai ilahi dalam kehidupannya. Sandaran ukuran kesuksesan baginya adalah tingkat popularitas yang tinggi yang disertai materi yang berlimpah. Sehingga lupa, ketika terjadi masalah dalam hidup ia tidak memiliki sandaran hidup yang kuat, maka terkadang ketika sudah tidak kuat menjalani beban hidup yang muncul adalah 3 penyakit S, stress, stroke dan stop.
Maka nilai-nilai spritual yang berbasis ilahi mesti wajib untuk selalu di pupuk oleh setiap sarjana. Ketaatan untuk terus beribadah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada sang Ilahi mesti selalu dilakukan secara rutin. Hal ini sebagai salah satu cara untuk mengembalikan kehidupan bahwa yang hakiki hanya semua akan kembali kepada sang Maha pemilik jagad raya, yaitu Allah sang maha segalanya. Manusia hanya bagian debu kecil yang tidak memiliki nilai- nilai apa-apa di depan sang Rabb-Nya.
Keempat, Menjadi pribadi-pribadi yang beradab. Tugas berat yang mesti dimiliki bagi setiap sarjana adalah bagaimana ia bisa tampil sebagai manusia-manusia yang memiliki adab yang luhur. Apalah arti gelar yang mentereng, ilmu yang mumpuni, kecerdasan intelektual yang tak terkalahkan, namun buruk dalam hal adab dan prilaku.
Para sarjana yang berilmu tinggi namun minus dalam hal adab, maka ia akan tampil dengan ilmunya untuk hanya kepentingan diri atau golongan serta kelompoknya. Sarjana yang pintar namun tidak memiliki adab justru lebih berbahaya dari sekedar sarjana yang kurang ilmu.
Kerusakan yang banyak terjadi disetiap lini masyarakat, bukan akibat prilaku orang yang kurang ilmu, akan tetapi justru banyak pelakunya dari orang-orang pintar namun memiliki adab yang culas. Akibat dari kepintarannya ia mampu membodohi masyarakat. Misal seorang yang ingin menjadi pemimpin, ia dengan penuh kepintaran dan retorika yang bagus mampu memberikan jani-janji manis dan harapan kepada masyarakat untuk dapat memilihnya, namun ketika jabatan sudah di genggam, maka janji dan harapan yang dulu semuanya hanya berupa kepalsuan, kebohongan dan penghianatan.
Korupsi yang maha besar di negeri kita yang menyengsarakan anak bangsa dan merusak sendi kehidupan, pelakunya bukanlah dari kalangan orang-orang bodoh dan yang berpendidikan rendah. Namun justru pelakunya kebanyakan orang-orang pintar yang bergelar sarjana, doktor bahkan guru besar. Kepintarannya tidak dibarengi oleh iman dan adab, yang akhirnya hanya menghasilkan perbuatan-perbuatan yang hina.
Padahal kalau merunut ke tujuan akhir pendidikan sebagaimana amanat undang-undang adalah melahirkan manusia manusia yang beradab dan bertuhan. Sehingga makna hakiki seorang sarjana adalah bagaimana ia bisa menjadi manusia-manusia yang ber ilmu dan sekaligus beradab, supaya ia bisa tampil sebagai sarjana-sarjana yang menjadi pencerah peradaban. Karena Peradaban yang luhur hanya dapat dicapai dari kerja keras dan ikhlas dari orang-orang yang beradab mulia.